drberita.id -Direktur Center of Strategy and Information (CSI) Edy Syahputra menilai polemik Kereta Cepat
Whoosh Jakarta - Bandung yang dikelola PT. Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sejak awal sudah menuai perdebatan.
Proyek ini merupakan hasil kerja sama antara dua konsorsium besar BUMN Indonesia yang memegang saham 60% dan konsorsium Tiongkok dengan kepemilikan saham 40%.
Proyek Kereta Cepat Whoosh ini merupakan inisiatif Presiden RI ke 7 Joko Widodo yang menimbulkan kontroversi cukup panjang, baik dari sisi perencanaan, pembiayaan, maupun urgensi manfaat bagi publik.
"Sejak awal perencanaan, proyek ini sudah diwarnai perdebatan tajam. Salah satu penolakan paling vokal datang dari Ignasius Jonan, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan dan juga mantan Direktur Utama PT KAI. Ia menilai proyek ini tidak rasional secara bisnis, dan tidak adil secara pemerataan pembangunan nasional," ujar Edy di Jakarta, Kamis 6 November 2025.
Menurut Ignasius Jonan, kata Edy, penggunaan dana negara untuk proyek dengan jarak relatif pendek seperti Jakarta - Bandung tidak mencerminkan keadilan fiskal bagi daerah lain di Indonesia. Bahkan, mantan Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa Jonan kehilangan jabatannya karena menolak proyek tersebut.
Polemik semakin memanas karena ditambah munculnya pemilihan mitra kerja pembangunan proyek. Pemerintah saat itu lebih memilih Tiongkok sebagai mitra kerja dengan skema business to business (B2B) yang tanpa jaminan pemerintah. Padahal Jepang sebelumnya telah menawarkan skema government to government (G2G) dengan bunga pinjaman yang sangat rendah.
"Namun pada kenyataannya, proyek ini tetap mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) dan akhirnya melibatkan APBN, yang bertentangan dengan semangat ekonomi kerakyatan," jelasnya.
Edy Syahputra mengayakan bahwa berbagai pihak, termasuk Ekonom Faisal Basri dan sejumlah anggota DPR, sejak awal telah meragukan rasionalitas bisnis proyek Kereta Cepat Whoosh.
"Ketika proyek tidak memiliki basis kelayakan ekonomi yang kuat, ujungnya selalu rakyat yang menjadi korban, baik melalui pajak, subsidi, maupun penyertaan modal negara yang membengkak," tegasnya.
Edy juga mendukung pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak keras penggunaan APBN untuk menutupi utang proyek Whoosh tersebut. Edy menilai sikap Purbaya sangat tepat dan perlu didukung penuh.
"CSI mendukung penuh sikap tegas Menteri Purbaya agar pembiayaan proyek Whoosh diselesaikan murni melalui skema bisnis to bisnis, bukan dengan membebani APBN atau uang rakyat," katanya.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyatakan kesediaannya mengambil alih tanggung jawab penuh atas utang proyek Whoosh, pun disambut Edy yang merupakan langkah tepat namun memberikan catatan penting.
Dukungan terhadap langkah Presiden Prabowo bersyarat itu bahwa segala bentuk penyelesaian finansial harus bersumber dari dana pribadi Prabowo, bukan dari APBN, bukan pula dari dana hasil sitaan koruptor.
"Karena pada hakikatnya, semua itu tetap berasal dari uang rakyat yang tidak boleh lagi dijadikan penopang bagi proyek yang lahir dari ego politik masa lalu," tegas Edy.
CSI juga menyoroti rencana pemerintah untuk memperpanjang jalur Kereta Cepat Whoosh hingga Surabaya bahkan Banyuwangi. Menurut Edy, rencana tersebut harus dikaji dengan matang secara teknis dan finansial agar tidak menjadi beban tambahan hutang negara.
"Presiden Prabowo jangan terlalu cepat memberikan janji janji besar atau 'angin surga'. Setiap proyek infrastruktur harus berbasis pada perhitungan ekonomi dan manfaat publik yang konkret. Rakyat tidak boleh kembali menjadi korban eksperimen kebijakan yang ambisius namun tidak realistis," ujarnya.
Edy juga mengingatkan agar proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak mengalami pola serupa.
"Kami (CSI) berharap pemerintah konsisten pada janji presiden terdahulu, bahwa pembangunan IKN tidak akan membebani rakyat. Rakyat sudah cukup lelah menanggung risiko dari proyek proyek yang tidak transparan dan tidak terukur manfaatnya," tutup Edy Syahputra.